Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia
Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu
instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di
tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan
dan mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan
hak-hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut
diadakanlah sistem pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi,
partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat.
Secara sederhana sistem politik berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan
suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau
calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni :
1. sistem distrik ( satu
daerah pemilihan memilih satu wakil )
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu
wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi,
yakni :
- firs past the post : sistem yang
menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon,
pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
- the two round system : sistem ini
menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang
pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh
suara mayoritas.
- the alternative vote : sama seperti firs
past the post bedanya para pemilih diberi
otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap
calon-calon yang ada.
- block vote : para pemilih
memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar
calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
2. sistem proporsional ( satu
daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil.
prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di
dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan
secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember
districts. ada dua macam sitem di
dalam sitem proporsional, yakni ;
- list proportional representation : disini
partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para
pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar
urut yang sudah ada.
- the single transferable vote : para pemilih
di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan
atas penggunaan kuota.
perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional
adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam
komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan
umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang
di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan
Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia
yang sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap
menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai
sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat
kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran
ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak
terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem pemilu merupakan
bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para
wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem
proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik. Sistem
proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia bisa jadi
sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas yang
pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu merupakan
sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat
perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah
mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup
menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar
terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009
terdapat perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya
modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi
proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat
perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru. pada orde baru yang menjadi
daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada
perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih
sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan
alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang
ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon
dari masing-masing kabupaten /kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak
lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah
pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan,
Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan
Irian Jaya Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12
kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara
3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu
1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu.
pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan
juga mencoblos calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan
menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon
yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah
bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi
daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam
perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak
melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki
suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny
merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu
pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka,
dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika
diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam
menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi
tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak
terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain
kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti.
ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap
lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih
calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di
lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini
khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi
kursi di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah
pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan.
mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk
mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar
Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan
mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa
BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang
berada dia atas BPP nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan
mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat
usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu
2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu
selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini
digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk
menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya
tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag
memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan
sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai
karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga
mendapatkan pilihan yang jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura
akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering
jelas dan menjadi sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari
PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan
menghapuskan nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan
partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa
nomer urut dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. perdebatan
smacam itu telah di selesaikan di dadal UU pemilu No 10 tahun 2008. UU ini
merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan
bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka. tetapi
kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. hal ini tidak
terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu
partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang membedakan dengan
pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30%
dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun
tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat
tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon
perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi
aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada
partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun
2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan
tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada
partai-partai yang memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di
Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar
terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi
anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi.
Akibat dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu
selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi
partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary
thresholdparliementary thresholdadalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam
pemerintahan di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah
dandi pemilu. hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR
karena lolos parliementary thresholddan tidak sedikit juga partai-partai
yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini
dikarenakan ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini
memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili
implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan
kekuatan-kekuatan politik yang ada. dan pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota
DPR. Kedua, kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini
mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon
laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah
pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar
partai dan antar calon di internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun
waktu kampanye berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta
pemilu partai dan calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan
sebagai konsekuensi di berlakukannya
Daftar Pustaka
Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta,
PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia, Jakarta,
Kencana .